Menu

Dark Mode
Pidato Kenegaraan Bukti Komit Wujudkan Janji dan Program AMPPSI Datangi Kementerian dan DPR RI, Hingga Meminta Presiden Turun Tangan Terkait Carut Marut Tata Niaga Singkong Ditengah Isu Keprihatinan, Persilamtim U 17 Lampung Timur Raih Poin Sempurna di Piala Soeratin Kwarcab Lampung Timur Berangkatkan 7 Peserta PPBK Nasional 2025 Momentum HUT RI, Pemda Lampung Timur Segera Luncurkan Panggilan Darurat 112 Bebas Pulsa Ketum HMI Lampung Timur dukung berdirinya Kodam Radin Inten

Berita

“Manjau Mulei” Cara Bujang – Gadis Lampung Memadu Kasih

badge-check


					“Manjau Mulei” Cara Bujang – Gadis Lampung Memadu Kasih Perbesar

Keterangan Foto: Manjau keluarga besar Pangeran Kesuma Ningrat (tiuh Kuto Bumei Marga unyi) pada begawei Prof. Dr. Sitanala Arsyad (Tiuh negara bumei ilir, Marga buai Nyerupa).

Oleh : Dr. Eng. Admi Syarif

Lampung (MediLT) –Muli mekhanai (bujang – gadis) Lampung generasi 70an dan sebelumnya dikenal istilah manjau muli atau nganjang gadis. Istilah manjau ini merupakan salah satu budaya, adat istiadat, tata cara pergaulan (memadu cinta) antara muda-mudi Lampung. Pertama kali saya mendengarnya ketika saya berusia sekitar 10 (sepuluh) tahun,di tiyuh Gunung Katun, Tulang Bawang Udik.A

Awal mulanya, pada saat itu,  salah seorang keluarga kami akan melaksanakan  acara adat perkawinan, cakak pepadun di tiyuh leluhur kami tersebut.

Pacar (kahagou: Bahasa Lampung) ? Belum terpikir pada waktu itu, masih sangat  “muda”.  Seperti biasa, pulang kampung memang menjadi momen yang ditunggu. Pukul 4 pagi kami berangkat dari Tanjung Karang. Dimulailah perjalanan menuju tiyuh Gunung Katun yang saat itu hanya dapat di tempuh dengan kendaraan darat, dengan route Bandar Lampung – Gunung Sugih – Bandar Jaya  – Menggala- Panaragan-Gunung Katun, yang ditempuh dengan waktu sekitar  delapan jam saja. Saat itu jalanan menuju kesana masih dari tanah, dan celakanya saat itu adalah musim penghujan, maka klop lah pertemuan antara jalan tanah dan air hujan. Beruntung mobil kami memiliki derek yang dapat diikatkan dipohon. Terkadang  kami harus turun dan berjalan kaki melewati tempat-tempat yang gajah pun sepertinya malas melintasinya.

Masyarakat Lampung secara keadatan, terdiri dari dua kelompok besar yaitu Pepadun dan Saibatin. Dari akulturasi kedua masyarakat adat inilah  Lampung dikenal sebagai dengan motto “Sai Bumi Ruwa Jurai”. Masyarakat Lampung memiliki tata nilai budaya yang sangat tercermin dari falsafah hidup mereka: Pi’il pesenggiri (harkat dan martabat), juluk adek (memiliki identitas) nemui nyimah (sopan santun dan bermurah hati), nengah nyappur (bergaul) dan sakai sambayan (tolong menolong). Waw KEREN  ABIS ya bro  ! boleh dicontoh tuh, falsafah hidup masyarakat Lampung yang masih diwariskan hingga sekarang.

Betapa senangnya hati ketika tiba, bertemu kerabat dan keluarga besar. Kami biasa mulai bersenda gurau  melepas kangen sambil mencicipi berbagai makanan khas  termasuk “setelo pajak (mantang rebus)”, oleh-oleh yang kami beli di Bandar Jaya. Saat itu, keluarga memang kumpul semua, karena ini memang acara cakak pepadun adik laki-laki dari ibu.

Malam tiba, mulailah kami makan malam dengan menu seruit. Saat itu sangat mudah untuk mendapatkan ikan di tiyuh. Lalapnya tentu saja ada umbuk alias “rotan muda” kesukaan saya. Delan (terasi) nya juga pasti delan  Menggalo.

Setelah makan malam, kakak sepupu saya mengajak saya manjau di mulei. Inilah pengalaman pertama saya manjau. Untuk manjau, biasanya bujang melawati bawah (maklum rumah panggung) kearang belakang.  Dari Bawah rumah, bujang biasanya memberikan isyarat dengan menghidupkan korek. Si gadis empunya rumah biasanya sudah tau kalau ada cahaya korek berarti ada bujang  yang ingin nganjang. Karena suasana yang begitu gelap, tidak jarang kita terpaksa tersandung di bawah rumah he he he. Usaha itu akan terbayar apabila akhirnya mendengar suara sang pujaan hati. Bujang gadis biasanya ngobrol atau bersuratan melalui lubang-lubang kayu di dinding. Apabila keluarga gadis berkenan, bujang bisa saja kemudian disuruh untuk ngobrol di serambi rumah, dikenal dengan istilah

Ada kenagan lain yang saya ingat, saat itu seorang gadis bisa saja memiliki empat atau lima pakar/kahago dan semuanya datang manjau pada saat bersamaan. Gadis Lampung mengang hebat, tidak terdengar keributan antara emat-atau lima bujang pacarnya datang manjau bersamaan. Si gadis juga sangat pandai meladeni semuanya.
Beda sekali ya gadis sekarang yang hanya punya satu pacar. Enggan mendua dan seolah pastilah si pacar jadi miliknya.

Untuk menunjukan keseriusannya , saat manjau, tidak jarang si bujang membawa buah tangan. Bahkan pada acara tertentu, terkadang si bujang  Lampung membawa bahan makanan lengkap atau dikenal dengan istilah “bekehadeu”. Bujang Lampung biasa sangat menghormati keluarga gadis, tak heran ketika ada keluarga yang lewat, si bujang akan menunduk terdiam, tidak berani menegurnya.

Sebenarnya masih panjang cerita menarik pengalaman manjau di mulei,  ngiser punyeu, nyeruit banek,  acara cakak pepadun dan lain-lain. Tapi yang pasti senang membagi banyak pengalaman indah. Teruslah berbuat baik untuk Lampung yang lebih baik. Nantikan tulisan berikutnya.(R*)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Read More

Pidato Kenegaraan Bukti Komit Wujudkan Janji dan Program

16 Agustus 2025 - 11:26 WIB

AMPPSI Datangi Kementerian dan DPR RI, Hingga Meminta Presiden Turun Tangan Terkait Carut Marut Tata Niaga Singkong

15 Agustus 2025 - 09:34 WIB

Ditengah Isu Keprihatinan, Persilamtim U 17 Lampung Timur Raih Poin Sempurna di Piala Soeratin

14 Agustus 2025 - 13:44 WIB

Kwarcab Lampung Timur Berangkatkan 7 Peserta PPBK Nasional 2025

12 Agustus 2025 - 13:21 WIB

Momentum HUT RI, Pemda Lampung Timur Segera Luncurkan Panggilan Darurat 112 Bebas Pulsa

7 Agustus 2025 - 21:32 WIB

Trending on Berita